KURVA PHILLIPS – Inflasi merupakan salah satu dinamika perekonomian yang langsung terasa di kalangan masyarakat.
Dengan terjadinya inflasi yang tinggi, maka harga barang pun akan semakin tinggi.
Sehingga, inflasi pun menjadi fenomena yang dirasakan untuk jangka pendek dan memiliki efek secara langsung.
Inflasi secara tidak langsung juga memiliki hubungan dengan tingkat pengangguran. Dimana keduanya berbanding negatif.
Sehingga, saat inflasi naik, pengangguran pun akan turun. Nah, hal ini ditunjukkan melalui kurva Phillips.
Artikel kali ini akan membahas mengenai kurva Phillips, asal mulanya, dan dasar teorinya.
Ulasan lengkapnya dapat Anda baca di bawah ini:
Pengertian
Kurva Phillips menunjukkan adanya hubungan di antara tingkat pengangguran dengan inflasi pada suatu negara.
Dalam kurva ini, dijelaskan bahwa keduanya mempunyai hubungan negatif atau berbanding terbalik.
Jadi, saat inflasi menurun, maka pengangguran akan naik, sedangkan ketika inflasi naik, maka pengangguran akan turun.
Dua poin ini dalam makro ekonomi merupakan pilihan yang cukup rumit.
Saat suatu negara ingin menurunkan inflasi, maka pada saat yang sama pengangguran pun bertambah jumlahnya.
Ketika suatu negara akan mengurangi pengangguran, maka di saat yang sama, inflasi pun akan semakin tinggi.
Setiap negara memiliki prioritas tersendiri meskipun dua hal tersebut memiliki peran yang penting dalam aspek perekonomian negara.
Seperti di Indonesia yang cenderung untuk lebih memilih mengatur inflasi daripada pengangguran.
Ini lah mengapa pemerintah setiap tahun gencar untuk mengumumkan target inflasi di tahun mendatang.
Sehingga, keberhasilan ekonomi diukur dengan target inflasi yang telah dicanangkan.
Inflasi dianggap memiliki dampak yang lebih terasa pada masyarakat.
Sedangkan pengangguran memiliki efek tidak langsung dan dampaknya tidak dirasakan dalam jangka pendek.
Lain lagi dengan Islandia yang lebih memprioritaskan pengurangan jumlah pengangguran daripada inflasi.
Sehingga, Anda tidak perlu heran jika harga-harga lebih mahal di negara tersebut.
Bagi Islandia, inflasi adalah cubitan kolektif, sedangkan pengangguran adalah cubitan kolektif. Yang mana hanya dirasakan oleh beberapa orang saja.
Di Islandia, apabila pengangguran mencapai 5%, maka dianggap sebagai skandal nasional lalu presiden harus segera diturunkan.
Asal Muasal Kurva Phillips
Hingga saat ini, tingkat pengangguran masih dipercaya memiliki korelasi dengan inflasi atau kenaikan harga secara umum.
Nah, kurva Phillips sendiri sampai saat ini masih menjadi pegangan bagi para ekonom di berbagai negara untuk menentukan kebijakan serta langkah yang tepat pada perekonomiannya.
Di tahun 1926, sebelum adanya kurva Phillips, terdapat seorang ekonom dari Amerika Serikat yakni Irving Fisher yang mengemukakan hubungan antara tingkat harga dan pengangguran.
Ide ini dituliskan dalam buku yang berjudul “A Statistical Relatio Between Unemployment and Price Changes.”
Dalam buku tersebut, Fisher menentukan variabel independen berupa variabel harga. Sedangkan tingkat pengangguran dipengaruhi tingkat harga di pasar.
Saat nilai mata uang jatuh, maka inflasi akan terjadi. Maka, pengusaha pun akan menemukan bahwa penerimaan meningkat karena kenaikan harga secara umum.
Kemudian, kenaikan harga akan membuat para pengusaha menambah tenaga kerja untuk meningkatkan output.
Nah, melalui asumsi ini, maka diambil suatu korelasi hubungan di antara tingkat harga serta tingkat pengangguran.
Namun, Phillips justru menganggap lain mengenai keterkaitan tingkat pengangguran dengan tingkat harga ini.
Variabel pengangguran digunakan sebagai variabel independen.
Ia juga menggunakan asumsi sederhana mengenai hukum permintaan serta penawaran.
Saat permintaan barang serta jasa meningkat dan lebih tinggi dari penawaran, permintaan tenaga kerja pun juga turut meningkat.
Hal ini juga seiring dengan kebutuhan dari perusahaan dalam memproduksi produknya dengan kuantitas yang lebih banyak.
BACA JUGA : 6 Poin Penting Perencanaan Produksi Massal yang Baik
Saat daya beli masyarakat meningkat, pasar pun akan menaikkan harga secara umum sehingga terjadi inflasi.
Phillips dalam studinya tahun 1861 hingga 1957 di Inggris, menemukan korelasi negatif terkait dengan tingkat pengangguran dengan biaya upah.
Yakni saat tingkat pengangguran semakin tinggi, biaya yang perlu dibayar oleh pengusaha juga semakin rendah. Berlaku pula hal yang sebaliknya.
Di tahun 1958, Phillips mempublikasikan tulisan dengan judul “The Relation between unemployment and the Rate of Change of Money Wage Rates in the United Kingdom”.
Dari tulisan ini, para ekonom percaya bahwa adanya hubungan antara pengangguran serta tingkat inflasi yang bersifat permanen.
Asumsi ini pun menjadi pegangan untuk pemerintah serta ekonom dalam mengambil kebijakan ekonomi.
Dasar Teori
Kebijakan ekonomi makro memiliki tujuan utama yakni memecahkan masalah inflasi sebagai penyebab terjadinya ketidakstabilan harga serta untuk memecahkan masalah pengangguran.
Sehingga, kebijakan ekonomi makro harus mencapai sasaran yakni dengan menciptakan stabilitas harga serta menciptakan kesempatan kerja pada waktu yang bersamaan.
Kurva Phillips menggambarkan tentang ciri hubungan antara kenaikan upah dan tingkat pengangguran.
Pada studi yang dilakukan oleh Phillips, diperoleh kesimpulan yakni ada suatu sifat hubungan berkebalikan antara kenaikan tingkat upah dengan tingkat pengangguran.
Pasar tenaga kerja yang berdasar pada asumsi bahwa tingkat pengangguran tinggi akan membuat kenaikan tingkat upah menjadi rendah dan sebaliknya, terbagi menjadi dua, yakni:
- Penawaran serta permintaan tenaga kerja menentukan tingkat upah.
- Perubahan dari tingkat upah ditentukan besarnya kelebihan permintaan tenaga kerja atau Excess Demand.
Bantahan Teori Kurva Phillips
Sebagaimana teori lain, ada juga yang membantah teori Phillips. DI tahun 1960-an, ada beberapa ekonom moneteret yang berpendapat jika kurva Phillips tidak berlaku untuk jangka panjang.
Kelompok yang dipimpin Milton Friedman serta Edmund Phelps ini mengemukakan bahwa ekonomi akan kembali pada tingkat pengangguran alami pada jangka yang panjang.
Hal ini dikarenakan tingkat pengangguran jangka panjang akan menyesuaikan tingkat dari inflasi.
Tingkat alami ini maksudnya tingkat pengangguran jangka panjang yang diamati sesudah efek dari faktor siklus jangka pendek hilang.
Serta upah sudah disesuaikan pada tingkat pasokan serta permintaan pasar tenaga kerja lebih seimbang.
Apabila pekerja mengharap harga akan baik, upah pun akan dituntut lebih tinggi.
Upah riil pekerja yang disesuaikan inflasi pun menjadi konstan.
Ketika kebijakan moneter dicanangkan untuk menurunkan pengangguran kurang dari tingkat alami, maka permintaan yang meningkat mengharuskan produsen menaikkan harga dengan lebih cepat.
Saat inflasi meningkat, maka pekerja bisa memasok tenaga kerja jangka pendek dikarenakan upah yang tinggi. Sehingga, tingkat pengangguran bisa turun.
Akan tetapi, pada jangka panjang, pekerjaan menyadari sepenuhnya bahwa daya belinya menghilang pada keadaan inflasi.
Kesediaan memasok tenaga kerja pun berkurang. Sehingga, pengangguran naik pada tingkat alami.
Akan tetapi, inflasi upah dan harga umum akan terus menerus meningkat.
Sehingga, pada jangka panjang, inflasi yang tinggi tidak menguntungkan perekonomian karena tingkat pengangguran rendah.
Tingkat inflasi yang rendah pun tidak seharusnya membuat biaya ekonomi melalui tingkat pengangguran yang tinggi.
Sebab, inflasi tidak memiliki dampak di tingkat pengangguran pada jangka panjang.
Dimana kurva Phillips jangka panjang akan menjadi garis yang vertikal di tingkat pengangguran alami.
Dari temuan ini, maka menghasilkan perbedaan antara kurva Phillips jangka pendek dan panjang.
Terlepas dari itu semua, inflasi ternyata mempunyai pengaruh pada lapangan kerja.
Inflasi dianggap bisa menciptakan lebih banyak lapangan kerja.
Demikian, Semoga Bermanfaat.